Nama Wilmar Group kembali tercoreng. Setelah pernah terseret kasus korupsi CPO, kini raksasa agribisnis ini diduga kuat terlibat dalam skandal beras oplosan yang merugikan jutaan rakyat.
Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai praktik oplosan beras ini kejahatan serius. “Rakyat dipaksa beli beras mahal tapi kualitasnya abal-abal. Biaya hidup melonjak, ekonomi makin sesak,” tegas Hudi saat dihubungi rekan media Inilah dot com, Jumat (11/7/2025).
Menurut Hudi, Wilmar Group layak disanksi ekstra berat jika terbukti bersalah. Ia mengingatkan, Wilmar bukan pemain baru di arena pelanggaran hukum. “Mereka ‘alumni’ kasus suap CPO 2022. Kalau masih main kotor, hukumannya jangan setengah hati,” sindirnya.
Hudi mendorong penegak hukum tidak sekadar menjatuhkan denda atau kurungan ringan. “Kalau terbukti berulang, cabut izin usahanya, bubarkan sekalian. Biar jadi pelajaran bagi perusahaan rakus,” katanya.
Kasus ini terungkap usai Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membongkar kecurangan distribusi beras. Satgas Pangan Polri menemukan 85 persen lebih beras premium tidak sesuai mutu, 59 persen dijual di atas harga eceran tertinggi, dan 21 persen tak sesuai timbangan. Potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri sudah memeriksa empat produsen: Wilmar Group (WG) lewat produk Sania, Sovia, Fortune; PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ); PT Belitang Panen Raya (BPR); dan PT Sentosa Utama Lestari/Japfa Group (SUL/JG). Sampel diambil dari Aceh, Sulawesi, Jawa hingga Jabodetabek.
Hingga berita ini ditulis, belum ada klarifikasi resmi dari Wilmar dan tiga produsen lainnya. Publik menanti, akankah para ‘raja beras’ ini kembali lolos dari jerat hukum?