Di Balikpapan, para istri pejabat berbaris rapi, mengenakan batik terbaik, berdiri di depan panggung berdekor etnik, lalu menatap lensa kamera dengan senyum penuh harap. Di belakang mereka, para pengrajin menatap kosong, menanti: kapan panggung megah ini meneteskan rupiah ke dompet mereka?
Selama 45 tahun, Dekranas katanya jadi motor penggerak kerajinan Nusantara. Tapi bagi sebagian pengrajin, motor ini ibarat moge yang dipajang di pameran: megah, mahal, tapi tidak pernah mereka kendarai.
Hj Yuliati Nugrahani, Ketua Dekranasda Jombang, pun tampil meyakinkan: sinergi pusat-daerah harus kuat, UMKM harus naik kelas. Bagus di telinga, manis di spanduk, tapi di lapangan, pelaku UMKM masih berkutat dengan modal cekak, pelatihan sekadarnya, dan pameran yang lebih sering jadi ajang selfie pejabat ketimbang ladang transaksi.
Ketua Dekranas Pusat, Selvi Ananda Putri, pun fasih bicara tentang multiplayer effects. Benar, setiap pameran kerajinan semestinya mendongkrak warung, transportasi, pariwisata. Tapi coba tanya pedagang warung di sekitar stan pameran: laku nasi bungkusnya berapa, dibandingkan biaya dekorasi stan para pejabat?
Di Jombang, jargon UMKM Naik Kelas sudah jadi mantra wajib di tiap pidato. Sayangnya, naik kelasnya pelaku UMKM sering kalah cepat dengan naiknya pangkat pemburu proyek pendampingan.
Kita diajak percaya bahwa dengan gotong royong, visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi. Tapi mimpi siapa? Buat pengrajin anyaman di pinggiran Wonosalam, visi emas itu hanya ilusi kalau jalur distribusi masih dipegang tengkulak, kalau pelatihan hanya berhenti di sertifikat, kalau pembiayaan hanya cair untuk yang dekat kekuasaan.
Kita pun disuguhi foto rombongan: ketua ini, bupati itu, wakil bupati anu — semua senyum di depan stan kerajinan. Sementara di belakang stan, perajin menunduk menghitung sisa ongkos sewa lapak dan berdoa dagangan laku, agar tidak perlu pinjam koperasi simpan pinjam dengan bunga mencekik.
Selamat ulang tahun, Dekranas. Semoga di ulang tahun ke-45 ini, panggung janji bisa berubah jadi panggung aksi. Karena di lapangan, para pengrajin tak butuh sekadar sinergi di microfon — yang mereka butuh hanyalah pembeli yang membayar tunai.
Dan kalau boleh mimpi sedikit lebih liar: semoga tahun depan, yang dipamerkan bukan lagi pidato, tapi daftar pengrajin yang benar-benar sejahtera. Kalau tidak, biarlah panggung megah itu kita simpan saja di museum retorika.