Medan - Fenomena semburan lumpur panas di Desa Roburan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, telah menimbulkan keresahan serius di kalangan masyarakat. Kejadian ini mengingatkan pada tragedi Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang hingga kini belum terselesaikan.
Dewan Energi Mahasiswa Sumatera Utara (DEM Sumut) melalui kajian ini menyatakan keprihatinan mendalam dan mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil alih PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) guna mencegah bencana lingkungan yang lebih parah. Rabu, 14 Mei 2025
Berdasarkan investigasi dilapangan, terdapat 21 titik semburan lumpur panas di wilayah Roburan. Warga setempat melaporkan bahwa semburan ini muncul secara tiba-tiba dan disertai dengan bau belerang yang menyengat. Dampaknya sudah sangat terlihat dengan rusaknya lahan pertanian, terganggunya sumber air bersih, serta munculnya retakan-retakan tanah di permukiman warga.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena mayoritas masyarakat bergantung pada sektor pertanian. Resiko pencemaran udara dan tanah pun tak bisa diabaikan. Gas beracun seperti hidrogen sulfida (H₂S) kerap dilepaskan ke udara, sementara limbah pengeboran berpotensi mencemari sumber air tanah jika pengelolaannya buruk.
Contoh paling gamblang dapat dilihat di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sejak 2021, proyek PLTP Sorik Marapi yang dijalankan PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) mencatat serangkaian insiden serius. Kebocoran gas H₂S yang terjadi pada 25 Januari 2021 menewaskan lima warga dan melukai puluhan lainnya.
Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sumatera Utara telah melihat bahwa aktivitas PT SMGP diduga menjadi penyebab utama fenomena ini. Perusahaan yang bergerak di bidang panas bumi ini telah melakukan pengeboran di wilayah sekitar, dan terdapat indikasi kuat bahwa kegiatan eksploitasi tersebut telah mengganggu kestabilan tanah. Kasus serupa pernah terjadi di Lapindo, di mana pengeboran sumur gas menyebabkan semburan lumpur yang tidak terkendali selama belasan tahun.
Secara hukum, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk mengambil tindakan tegas dalam kasus ini. UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang sehat, sementara UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan perusahaan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Selain itu, UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi juga menegaskan bahwa pengusahaan energi panas bumi harus mengutamakan keselamatan dan keberlanjutan ekologis.
Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa PT SMGP belum sepenuhnya mematuhi ketentuan tersebut. DEM Sumut melihat bahwa perusahaan kurang transparan dalam melakukan pemantauan dampak lingkungan. Sementara itu, warga mengeluh tidak dilibatkan secara memadai dalam proses sosialisasi dan mitigasi risiko. Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi menjadi bencana nasional baru yang akan menyengsarakan masyarakat dan membebani keuangan negara.
Melihat keseriusan masalah ini, DEM Sumatera Utara mendesak Presiden RI harus segera mengambil alih operasional PT SMGP melalui mekanisme pengambilalihan sementara untuk menghentikan aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan. Lalu, pemerintah perlu membentuk tim investigasi independen yang melibatkan ahli geologi, lingkungan, dan perwakilan masyarakat untuk mengungkap akar masalah secara transparan. Namun, kita juga mengingatkan kepada Pihak PT SMGP bahwa kompensasi dan pemulihan lingkungan harus segera diberikan kepada warga yang terdampak.
DEM Sumatera Utara menegaskan bahwa kasus Roburan tidak boleh berujung seperti Lumpur Lapindo, di mana korban terus bertambah tanpa penyelesaian yang adil. Pengambilalihan PT SMGP oleh negara adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa energi panas bumi dikelola secara bertanggung jawab.
Pemerintah tidak boleh abai, karena kelambanan hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat. Dewan Energi Mahasiswa Sumatera Utara akan terus melakukan riset dan advokasi serta akan turun langsung kejalan guna mengkawal terus permasalahan ini sampai hak-hak masyarakat di desa roburan, kabupaten Mandailing Natal terpenuhi sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3.