Oleh: Ronny Brown
Humas IWOI DPD Jombang
JOMBANG | Ketakutan sebagian jurnalis terhadap kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sejatinya adalah cermin dari masalah yang lebih dalam. Bukan karena AI terlalu canggih, melainkan karena sebagian pelaku pers terlalu lama nyaman tanpa meningkatkan kualitas diri. Jika hari ini profesi jurnalis terasa “di ujung tanduk”, maka yang patut disalahkan bukan teknologi, tetapi krisis integritas dan kompetensi di tubuh pers itu sendiri.
AI memang mampu menulis cepat, menyusun data rapi, dan merangkum informasi secara efisien. Namun AI tidak memiliki nurani, kepekaan sosial, dan keberanian moral. Ironisnya, keunggulan itulah yang justru mulai hilang dari sebagian oknum yang mengaku wartawan, tetapi tidak pernah menghadirkan karya jurnalistik yang bermakna bagi publik.
Di lapangan, kita masih menemui “wartawan” yang aktivitasnya lebih sibuk berjejaring, bersilaturahmi dari kantor ke kantor, namun absen dalam ruang redaksi. Tidak ada laporan mendalam, tidak ada kritik kebijakan, bahkan tidak ada karya tulis yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi seperti ini, wajar jika publik mulai bertanya: apa bedanya mereka dengan AI, bahkan mungkin AI jauh lebih berguna?
Organisasi pers tidak boleh tutup mata terhadap fenomena ini. Jika organisasi hanya berfungsi sebagai pabrik kartu anggota tanpa kaderisasi serius, maka ia ikut bertanggung jawab atas degradasi profesi. Jurnalisme bukan sekadar status, tetapi keahlian yang ditempa lewat proses belajar, disiplin, dan keberanian berpikir kritis.
Perusahaan media pun tidak bisa cuci tangan. Rekrutmen asal-asalan, demi kuantitas atau kepentingan tertentu, sama saja dengan menggali kubur masa depan pers. Media yang memelihara wartawan tanpa karya sejatinya sedang mengkhianati publik yang berhak atas informasi berkualitas.
Di sisi lain, persoalan pers tidak berhenti pada internal jurnalis. Birokrasi pemerintah termasuk di daerah masih banyak yang memandang pers kritis sebagai ancaman. Kritik dianggap gangguan, bukan peringatan. Padahal, dalam demokrasi, pers adalah pilar keempat yang berfungsi mengawasi kekuasaan. Pemerintah yang alergi kritik sesungguhnya sedang memperlihatkan ketakutannya sendiri pada transparansi.
Lebih memprihatinkan lagi ketika kerja sama media dan alokasi anggaran publik justru diberikan kepada media atau oknum wartawan yang “aman”, bukan yang bekerja dan berkarya. Praktik ini bukan hanya tidak adil, tetapi berbahaya bagi demokrasi. Pers yang dijinakkan dengan anggaran akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Maka perlu ditegaskan: AI bukan musuh jurnalisme. Musuh sesungguhnya adalah kemalasan intelektual, standar ganda dalam profesi, dan birokrasi yang anti-kritik. Jika pers ingin tetap dipercaya publik, tidak ada jalan lain selain kembali ke khitah: menulis dengan jujur, berpihak pada kepentingan publik, dan berani bersuara meski tidak nyaman bagi penguasa.
AI akan terus berkembang. Pertanyaannya sederhana: apakah jurnalis juga mau berkembang, atau memilih tersingkir oleh zaman karena berhenti berkarya?
