JAKARTA | Sekolah SD - SMP swasta gratis kini menjadi kewajiban negara setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga warga negara.
Putusan tersebut dibacakan di Gedung MK, Jakarta, pada Selasa (27/5).
Dalam amar putusan nomor 3/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan dasar yang bebas biaya, tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 telah dimaknai ulang. MK menyatakan bahwa pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak mencerminkan kewajiban negara dalam membiayai wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar.
"Pemerintah wajib menjamin penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa pungutan biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta," tegas Suhartoyo saat membacakan putusan.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menambahkan bahwa pendidikan dasar adalah hak konstitusional yang tidak bisa dibatasi oleh kemampuan ekonomi.
Ia menyoroti fakta bahwa sebagian besar anggaran pendidikan selama ini lebih terfokus pada sekolah negeri, padahal banyak anak Indonesia justru menempuh pendidikan dasar di sekolah swasta atau madrasah.
"Apabila negara tidak hadir dalam pembiayaan pendidikan dasar, maka hal itu dapat menghambat warga negara menjalankan kewajiban konstitusionalnya untuk mengikuti wajib belajar," ucap Guntur.
Tidak seragam tapi tetap inklusif
Meski mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar gratis di sekolah swasta, MK menyampaikan bahwa pelaksanaannya harus dilakukan secara selektif dan bertahap.
Hakim Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa tidak semua sekolah swasta berada dalam kondisi dan orientasi yang sama.
Ia mencontohkan sekolah-sekolah swasta dengan kurikulum internasional atau layanan premium yang memang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Menurutnya, pilihan terhadap sekolah semacam itu biasanya disertai kesadaran akan konsekuensi finansial.
"Sekolah yang menawarkan nilai tambah atau keunggulan komersial tidak bisa disamakan dengan sekolah swasta yang melayani masyarakat luas. Bantuan negara harus diberikan secara tepat sasaran," jelas Enny.
Dengan demikian, pemerintah diminta untuk memprioritaskan bantuan kepada sekolah atau madrasah swasta yang berfokus pada layanan publik dan tidak berorientasi pada profit semata.
Langkah baru menuju keadilan pendidikan
Putusan MK ini disambut antusias oleh para pemohon dan pegiat pendidikan.Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyebut keputusan tersebut sebagai tonggak penting dalam perjuangan menciptakan sistem pendidikan nasional yang lebih adil dan inklusif.
“Ini adalah kemenangan bagi jutaan keluarga yang selama ini terpaksa membayar mahal demi pendidikan dasar anak mereka di sekolah swasta,” kata Ubaid.
Ia menegaskan bahwa beban biaya telah menjadi penghalang utama bagi akses pendidikan yang setara.
Menurutnya, saat ini sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan anggaran yang lebih merata.
"Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD harus digunakan untuk menjamin pendidikan dasar gratis, tak hanya bagi sekolah negeri, tetapi juga swasta yang melayani masyarakat luas," tambahnya.
Meski keputusan MK ini memberi arah baru, pelaksanaannya bukan tanpa tantangan. Pemerintah pusat dan daerah harus menyesuaikan alokasi anggaran untuk menanggung biaya pendidikan di sekolah swasta.
Selain itu, dibutuhkan regulasi teknis yang mengatur kriteria dan mekanisme penyaluran bantuan secara transparan.
Inilah mengapa putusan MK ini membuka jalan menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif. Namun, komitmen dan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan agar prinsip sekolah SD SMP swasta gratis benar-benar bisa diwujudkan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa membedakan latar belakang sosial dan ekonomi peserta didik.